Jumat, 23 Maret 2018

Pendekatan Open-Ended


PENDEKATAN OPEN-ENDED
DALAM PENDIDIKAN MATEMATIKA


PENDIDIKAN MATEMATIKA
Pendidikan matematika di Indonesia berkembang sejalan dengan perkembangan matematika di dunia. Hal ini ditandai dengan adanya perubahan-perubahan yang selain dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, seringkali diawali juga dengan adanya perubahan pandangan tentang hakekat matematika serta pembelajarannya.
Perubahan pandangan tentang hakekat matematika ini sangat dipengaruhi oleh terjadinya perkembangan mengenai teori belajar, baik umum maupun khusus terkait tentang belajar matematika dan walaupun perubahan ini terjadi secara perlahan, namun sudah ada upaya untuk memperbaiki kualitas pembelajaran matematika.
Perubahan kurikulum matematika sekolah telah terjadi beberapa kali sejak tahun 1968. Berdasarkan tahun terjadinya perubahan untuk tiap kurikulum, maka terdapat beberapa nama kurikulum, yaitu Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1996, Kurikulum 1999, Kurikulum 2013. Selain itu, sebelum muncul Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di tahun 2006, pada tahun 2002 telah disusun sebuah kurikulum yang disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Berbagai studi tentang perkembangan intelektual manusia telah menghasilkan sejumlah teori belajar yang sangat bervariasi. Tiap teori dapat dipandang sebagai suatu metoda untuk mengorganisasi serta mempelajari berbagai variabel yang berkaitan dengan belajar dan perkembangan intelektual, dan dengan demikian guru dapat memilih serta menerapkan elemen-elemen teori tertentu dalam pelaksanaan pengajaran di kelas.
Dari teori-teori yang dikembangkan itu, akhirnya muncul pendekatan-pendekatan baru yang menjadi acuan upaya perbaikan pembelajaran, baik bagi peneliti maupun guru-guru matematika di lapangan, antara lain adalah Pendekatan Realistic Mathematics Education, Pendekatan Open-Ended, dan Pendekatan Kontekstual
  
PENDEKATAN OPEN-ENDED MATEMATIKA
Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali dihadapkan pada masalah. Permasalahan-permasalahan itu tentu tidak semuanya merupakan permasalahan matematis. Namun, matematika memiliki peranan sentral dalam menjawab permasalahan keseharian itu.
Tidak sedikit guru matematika yang merasa kesulitan dalam membelajarkan siswa bagaimana menyelesaikan masalah matematika. Kesulitan itu lebih disebabkan suatu pandangan yang mengatakan bahwa jawaban akhir dari suatu permasalahan merupakan tujuan utama dari pembelajaran. Prosedur siswa dalam menyelesaikan permasalahan kurang (atau bahkan tidak) diperhatikan oleh guru, karena terlalu berorientasi pada kebenaran jawaban akhir. Padahal perlu disadari bahwa proses penyelesaian suatu masalah yang dikemukakan siswa merupakan tujuan utama dalam pembelajaran pemecahan masalah matematika.
Dari situlah akhirnya, muncul problem yang yang diformulasikan agar memiliki multijawaban yang benar yang disebut problem tak lengkap atau disebut juga problem open-ended atau problem terbuka. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan Suherman, dkk. (dalam Wirahadie, 2017).
Pendekatan berdasarkan masalah dalam pembelajaran matematika sebenarnya bukan hal yang baru, karena Polya telah mengembangkannya sejak tahun 1940-an (dalam Amirudin, dkk., 2012). Namun, pendekatan ini mendapat perhatian luas lagi mulai tahun 1980-an sampai sekarang, yaitu dengan dikembangkannya pendekatan pemecahan masalah berbentuk terbuka (open-ended) ini di Jepang.
Pendekatan open-ended merupakan hasil serangkaian penelitian para ahli pendidikan matematika Jepang, satu di antaranya adalah Shimada (Amirudin, dkk., 2012) antara tahun 1971-1976.
Menurut Shimada (dalam buku Bahan Ajar Pendidikan & Latihan Profesi Guru, 2009) pada pembelajaran matematika, rangkaian dari pengetahuan, keterampilan, konsep, prinsip, atau aturan diberikan kepada siswa biasanya melalui langkah demi langkah. Tentu saja rangkaian ini diajarkan tidak sebagai hal yang saling terpisah atau saling lepas, namun harus disadari sebagai rangkaian yang terintegrasi dengan kemampuan dan sikap dari setiap siswa, sehingga di dalam pikirannya akan terjadi pengorganisasian intelektual yang optimal.
Rangkaian penelitiannya adalah studi pengembangan metoda evaluasi dalam pendidikan matematika (tahun 1971), studi pengembangan metoda evaluasi dan analisis pengaruh faktor-faktor belajar dalam matematika (tahun 1972-1973), dan studi pengembangan metoda evaluasi untuk mengukur kemampuan siswa dalam keterampilan berpikir matematika tingkat tinggi (tahun 1974-1976).
Anthony (dalam Amirudin, dkk., 2012) mengemukakan bahwa pemberian tugas matematika rutin yang diberikan pada latihan atau tugas-tugas matematika selalu terfokus pada prosedur dan keakuratan, jarang sekali tugas matematik terintegrasi dengan konsep lain dan juga jarang memuat soal yang memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Memperhatikan hal tersebut, maka pendekatan open-ended dapat memberikan solusi bagi masalah di atas.
Tujuan dari pembelajaran open-ended problem adalah untuk membantu mengembangkan kegiatan kreatif dan pola pikir matematik siswa melalui problem posing secara simultan.
Dari perspektif di atas, pendekatan open-ended menjanjikan suatu kesempatan kepada siswa untuk menginvenstigasi berbagai strategi dan cara yang diyakininya sesuai dengan kemampuan mengelaborasi permasalahan. Inilah yang menjadi pokok pikiran pembelajaran dengan open-ended, yanitu pembelajaran yang membangun kegiatan interaktif antara matematika dan siswa sehingga mengundang siswa untuk menjawab permasalahan melalui berbagai strategi. Perlu digarisbawahi bahwa kegiatan matematik dan kegiatan siswa disebut terbuka jika memenuhi ketiga aspek berikut:
1.     Kegiatan siswa harus terbuka
Maksud kalimat ini adalah kegiatan pembelajaran harus mengakomodasi kesempatan siswa untuk melakukan segala sesuatu secara bebas dan benar sesuai kehendak mereka.
2.     Kegiatan matematik adalah ragam berpikir
Kegiatan matematika adalah kegiatan yang di dalamnya terjadi proses pengabstraksian dari pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari ke dalam dunia matematika atau sebaliknya. Pada dasarnya kegiatan matematika akan mengundang proses manipulasi dan manifestasi dalam dunia matematika. Di situlah ragam berpikir terjadi. 
3.     Kegiatan siswa dan kegiatan matematik merupakan satu kesatuan
Pada dasarnya, pendekatan open-ended bertujuan untuk mengangkat kegiatan kreatif siswa dan berpikir matematika secara simultan. Oleh karena itu, hal yang perlu diperhatikan adalah kebebasan siswa untuk berpikir dalam membuat peningkatan pemecahan sesuai dengan kemampuan, sikap, dan minatnya sehingga pada akhirnya akan membentuk intelegensi matematika siswa.
Secara konseptual, masalah terbuka dalam pembelajaran matematika adalah masalah atau soal-soal matematika yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga memiliki beberapa atau bahkan banyak solusi yang benar, dan terdapat banyak cara untuk mencapai solusi itu. Pendekatan ini memberikan kesempatan pada siswa untuk mendapat pengalaman dalam menemukan sesuatu yang baru (Schoefeld dalam Amirudin, dkk., 2012).
Pendekatan open-ended dalam pembelajaran matematika sangat tergantung pada masalah yang disajikan. Nohda (dalam Sumardyono, dkk., 2017) mengemukakan bahwa jenis masalah yang digunakan dalam pendekatan pembelajaran open-ended ini adalah masalah yang tidak rutin (non-routine problems). Masalah tidak rutin yang disajikan bersifat terbuka.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa dasar keterbukaan (openness) dapat dikategorikan ke dalam tiga tipe, yaitu:
1.      prosesnya terbuka (process is open), maksudnya adalah keterbukaan pada banyak cara penyelesaian yang benar;
2.      hasil akhir yang terbuka (end product are open), maksudnya adalah keterbukaan pada jawaban benar yang banyak; dan
3.      cara mengembangkannya terbuka (ways to develop are open), maksudnya adalah keterbukaan pada pengembangan masalah baru lebih lanjut.

MENGKONSTRUKSI PROBLEM OPEN-ENDED
Sebenarnya tidak mudah mengembangkan problem open-ended yang tepat dan baik untuk siswa dengan beragam kemampuan. Melalui penelitian yang panjang di Jepang itulah, ditemukan beberapa hal yang dapat dijadikan acuan dalam mengkreasi problem tersebut, di antaranya:
1.      sajikan permasalahan melalui situasi fisik yang nyata di mana konsep-konsep matematika dapat diamati dan dikaji siswa;
2.      soal-soal pembuktian dapat diubah sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan hubungan dan sifat-sifat dari variabel dalam persolana itu;
3.      sajikan bentuk-bentuk atau bangun-bangun (geometri) sehingga siswa dapat membuat suatu konjektur;
4.      sajikan urutan bilangan atau tabel sehingga siswa dapat menemukan aturan matematika;
5.      berikan beberap contoh konkrit dalam beberapa kategori sehingga siswa bisa mengelaborasi sifat-sifat dari contoh itu untuk menemukan sifat-sifat yang umum;
6.      berikan beberapa latihan serupa sehingga siswa dapat menggeneralisasi dari pekerjaannya.
(Sumber: buku Bahan Ajar PLPG)

MENGEMBANGKAN RENCANA PEMBELAJARAN
Setelah guru menyusun suatu masalah open-ended dengan baik, langkah selanjutnya adalah mengembangkan rencana pembelajaran (Wirahadie, 2017)
Pada tahap ini, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:
1.      Tuliskan respon siswa yang diharapkan.
Siswa diharapkan merespon masalah yang diberikan dengan berbagai cara. Namun, mengingat kemampuan siswa dalam mengemukakan gagasan dan pikirannya masih terbatas, maka guru perlu menuliskan daftar antisipasi respon siswa terhadap masalah. Hal ini diperlukan sebagai upaya mengarahkan dan membantu siswa memecahkan masalah sesuai dengan cara dan kemampuannya.
2.      Tujuan yang harus dicapai dari masalah yang diberikan harus jelas.
Guru harus benar-benar memahami peran masalah yang akan diberikan kepada siswa dalam keseluruhan pembelajaran. Apakah masalah yang akan diberikan kepada siswa diperlakukan sebagai pengenalan konsep baru atau sebagai rangkuman dari kegiatan belajar siswa. Berdasarkan beberapa hasil penelitian, masalah open-ended akan efektif digunakan untuk pengenalan konsep baru atau dalam merangkum kegiatan belajar. 
3.      Sajikan masalah dengan cara dan bentuk yang menarik.
Mengingat pemecahan masalah open-ended memerlukan waktu untuk berpikir, maka konteks permasalahan yang disampaikan harus dikenal baik oleh siswa dan harus menarik perhatian serta membangkitkan semangat intelektual.
4.      Berikan informasi dalam masalah selengkap mungkin, sehingga siswa dengan mudah dapat memahami maksud dari masalah yang disampaikan.
Siswa dapat mengalami kesulitan memahami masalah dan memecahkannya apabila penjelasan masalah terlalu ringkas.
5.      Berikan waktu yang cukup kepada siswa untuk mengeksplorasi masalah.
Guru harus memperhitungkan waktu yang dibutuhkan siswa untuk memahami masalah, mendiskusikan kemungkinan pemecahannya, dan merangkum apa yang telah dipelajari. Oleh karena itu, guru dapat membagi waku dalam dua periode. Periode pertama, siswa bekerja secara individual atau kelompok dalam memecahkan masalah dan membuat rangkuman dari hasil pemecahan masalah. Periode kedua, digunakan untuk diskusi kelas mengenai strategi da pemecahan serta penyimpulan dari guru.

KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN PENDEKATAN OPEN-ENDED DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Dalam pendekatan open-ended,guru memberikan permasalahan kepada siswa yang solusinya tidak perlu ditentukan hanya melalui satu jalan saja. Guru harus memanfaatkan keragaman cara atau prosedur yang ditempuh siswa dalam menyelesaikan masalah. Hal tersebut akan memberikan pengalaman pada siswa dalam menemukan sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan, keterampilan, dan cara berpikir matematis yang telah diperoleh sebelumnya.
Beberapa keunggulan dari pendekatan open-ended ini adalah:
1.      Siswa lebih memiliki banyak kesempatan untuk mengemukakan setiap pendapatnya berdasarkan pengethuan yang telah dimiliki sebelumnya.
2.      Siswa dari kelompok lemah tetap dapat mengikuti pembelajaran dengan mengekspresikan penyelesaian masalah melalui cara-cara mereka sendiri.
3.      Munculnya ide-ide kreatif dari siswa yang kadang-kadang tidak terduga.
4.      Siswa terdorong memberikan alasan dan bukti atas jawaban yang diberikan.
5.      Siswa mendapatkan benyak pengalaman melalui temuannya sendiri maupun temuan dari temannya dalam menyelesaikan masalah.

Di samping keunggulan, pendekatan ini memiliki beberapa kelemahan, di antaranya:
1.      Bagi guru bukan pekerjaan yang mudah untuk merumuskan masalah atau situasi matematis yang bermakna bagi siswa dan relevan dengan tujuan pembelajaran.
2.      Siswa sering kebingungan merespon jawaban dari masalah yang diberikan.
3.      Karena jawaban dari soal open-ended bersifat bebas, maka siswa kelompok pandai seringkali merasa cemas bahwa jawabannya akan tidak memuaskan.
4.      Ada kecenderungan bahwa siswa merasa kurang senang mengikuti pembelajaran karena tidak mendapatkan kesimpulan.

PENDEKATAN OPEN-ENDED MATEMATIKA DI SEKOLAH
Fardah (2012) pernah melakukan penelitian untuk menganalisa proses dan kemampuan berpikir kreatif siswa dalam matematika melalui tugas Open-Ended. Hasilnya adalah pada siswa kategori tinggi dengan kemampuan tinggi dalam bidang matematik (high-level), produk berpikir kreatifnya berbagai macam dan berbagai kategori, bahkan respon yang mereka berikan berbeda jika dibandingkan siswa yang lain. Hasil yang mereka berikan juga cukup rinci dan lengkap. Produk berpikir kreatif dari siswa berkemampuan rendah tidak bervariasi dan bahka respon yang mereka berikan sangat sedikit dan sangat umum. Penguraian jawaban pun tidak rinci dan tidak lengkap. Namun, guru memberikan kesempatan lebih banyak pada siswa untuk mengeksplorasi berbagai macam jawaban maupun cara penyelesaian dengan memperhatikan kelancaran, keluwesan, keaslian, dan keterincian.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh suatu kesimpulan umum antara lain bahwa tujuan pembelajaran tingkat tinggi dimungkinkan untuk dikembangkan melalui pendekatan yang bersifat open-ended. Perkembangan perolehan komponen-komponen pengetahuan dan keterampilan yang berguna untuk mencapai tujuan pembelajaran tingkat tinggi, tidak hanya tergantung pada kemampuan bawaan siswa (talenta), akan tetapi juga sangat dipengaruhi secara signifikan oleh model pembelajaran yang dikembangkan guru, khususnya yang mampu menciptakan kesempatan dan dorongan bagi siswa untuk berkembang.
Terkait dengan pengalaman mengenai pendekatan open-ended, penulis sendiri pernah memberikan pertanyaan matematika yang walaupun jawaban akhirnya sama, namun siswa dapat memberikan cara dengan jalan yang berbeda.
Masalah matematika yang disajikan adalah terkait masalah kontekstual dalam materi pecahan. Berikut adalah beberapa foto yang penulis miliki.


Gambar 1. Beberapa siswa menuliskan jawaban dengan beberapa cara yang berbeda.


 Gambar 2. Jawaban siswa (cara yang berbeda menghasilan jawaban akhir yang sama)

Menarik sekali memperhatikan hasil buah pemikiran siswa yang beragam, namun memberikan jawaban akhir yang sama. Sesuai dengan satu dari tiga tipe keterbukaan (openess), yaitu prosesnya terbuka (process is open), maksudnya adalah keterbukaan pada banyak cara penyelesaian yang benar.

KESIMPULAN
Pendidikan, kata yang membuat seseorang akhirnya mengenal dan paham banyak hal yang awalnya tidak diketahui olehnya dan akhirnya menjadikan seseorang itu manusia yang lebih bijaksana dalam menghadapi suatu persoalan.
Munculnya pendekatan open-ended ini berawal dari pandangan bagaimana menilai kemampuan siswa secara objektif kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam matematika yang akhirnya membuat siswa bijak dalam berpikir dan bersikap
Banyak hal terkait dengan pendidikan, seperti teori mengenai evaluasi pendidikan, tentang bagaimana kegiatan penjaminan mutu pendidikan diperlukan, bagaimana pendidikan suatu pelajaran terlaksana dengan segala teori belajar yang diterapkan, bagaimana pendidikan dalam konteks budaya dan multibudaya dapat berjalan dalam keragaman dunia. Semua hal itu pastilah ada hubungannya antara satu dengan yang lainnya. Misalnya dalam pendidikan matematika di Indonesia dengan segala teori belajar yang pernah dan masih digunakan sampai saat ini. Kita dapat mengetahui bagaimana proses pembelajaran matematika ini berlangsung dan siswa dapat belajar matematika dengan tidak melupakan perspektif budaya di dalamnya, yang dalam ataupun di ujung proses pembelajarannya itu, mereka akan bertemu dengan kegiatan evaluasi yang merupakan bagian dari tugas semua pihak untuk tetap mengupayakan agar mutu pendidikan ini selalu baik.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

DAFTAR PUSTAKA

Amirudin, dkk. 2012. Metode Pembelajaran Pendekatan “Open-Ended”. Online: http://kelompokinovatif.blogspot.co.id/2012/11/metode-pembelajaran-pendekatan-openended.html (Diakses: 4 Februari 2018)
PANITIA PELAKSANA PENDIDIKAN DAN LATIHAN PROFESI GURU RAYON 10 JAWA BARAT UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA. 2009. Bahan Ajar Pendidikan & Latihan Profesi Guru (PLPG). Bandung.
Fardah, Dini Kinati. 2012. Analisis Proses dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa dalam Matematika Melalui Tugas Open-Ended. Jurnal Online: https://journal.unnes.ac.id/artikel_nju/kreano/2616 (Diakses: 4 Februari 2018)
Sumardyono, dkk. 2017. Modul Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Kelompok Kompetensi C (Pedagogik). Jakarta: Kementerian Pendidikan dan kebudayaan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.
Wirahadie. 2017. Metode Pembelajaran Open-Ended. Online: http://www.wirahadie.com/2017/01/model-pembelajaran-open-ended.html (Diakses: 4 Februari 2018)

Jumat, 02 Maret 2018

UPAYA GURU DALAM MEMELIHARA PENGETAHUAN GLOBAL DALAM PERENCANAAN PEMBELAJARAN

UPAYA GURU DALAM MEMELIHARA PENGETAHUAN GLOBAL DALAM PERENCANAAN PEMBELAJARAN

Oleh: Ni Putu Candrawati

A. Pendahuluan
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 secara tersirat telah menyampaikan bahwa salah satu bagian dari kegiatan Pemerintahan Negara Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam rangka hal itulah, guru dengan segala upayanya ikut berperan aktif di dalamnya yang tentu saja pusatnya adalah para peserta didik.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pun disampaikan bahwa pembangunan nasional dalam bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab; lagi-lagi guru memiliki peran yang sangat besar terhadap perkembangan dan kemajuan suatu bangsa.

Perkembangan dan kemajuan suatu bangsa kadang diakitkan dengan globalisasi. Istilah globalisasi makin sering digunakan sejak petengahan tahun 1980-an dan lebih sering lagi sejak pertengahan 1990-an (https://id.wikipedia.org/wiki/-Globalisasi) dan sejak itu pulalah kelebihan dan kelemahan globalisasi harus siap dihadapi termasuk oleh seluruh personel pada sektor pendidikan, termasuk guru yang ada di dalamnya.

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Memasuki era globalisasi ini diperlukan sumber daya manusia yang handal dan mampu berkompetisi secara global, sehingga diperlukan sumber daya manusia yang kreatif, berpikir sistematis, logis, dan konsisten. Untuk memperoleh sifat yang demikian perlu diberikan pendidikan yang berkualitas baik.

Salah satu mata pelajaran yang merefleksikan sifat di atas adalah mata pelajaran matematika yang merupakan salah satu mata pelajaran yang disiapkan untuk peserta didik agar mampu menghadapi tantangan dalam millennium baru ini.

B. Pembahasan
Dari uraian di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa ada hal yang harus dicari solusinya, yaitu bagaimana upaya guru matematika dalam memelihara pengetahuan global pada perencanaan pembelajaran.

Menurut Cheng (2003), pengetahuan global adalah konsep yang kabur. Bagi ilmuwan atau peneliti yang berbeda, konsep pengetahuan global mungkin didefinisikan secara berbeda pula. Beberapa mungkin mendefinisikan pengetahuan global, kira-kira sebagai pengetahuan yang valid dan umum di banyak negara. Jika kita menerima definisi ini, berarti beberapa bagian dari pengetahuan lokal mungkin berkontribusi pada kumpulan pengetahuan global jika berlaku di banyak negara; dan bagian lainnya.

Sedangkan Utomo (2017) berpendapat bahwa pendidikan berwawasan global merupakan suatu proses pendidikan yang dirancang untuk mempersiapkan anak didik dengan kemampuan dasar intelektual dan tanggung jawab guna memasuki kehidupan yang bersifat kompetitif dan dengan derajat saling menggantungkan antar bangsa yang sangat tinggi.

Arief (2015) menyatakan bahwa globalisasi telah menimbulkan gaya hidup baru yang tampak dengan jelas dalam memperngaruhi kehidupan. Idrus (dalam Arief, 2015) menyatakan bahwa ada berbagai dampak yang ditimbulkan oleh globalisasi terhadap dunia pendidikan, yaitu:
1. Dampak positif globalisasi pendidikan
a. Akan semakin mudahnya akses informasi.
b. Akan menciptakan manusiua yang profesional dan berstandar internasional dalam bidang pendidikan.
c. Akan membawa dunia pendidikan Indonesia bisa bersaing dengan Negara-negara lain.
d. Akan menciptakan tenaga kerja yang berkualitas dan mampu bersaing.
e. Adanya perubahan struktur dan sistem pendidikan yang meningkatkan tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan.

2. Dampak negatif globalisasi dalam pendidikan
Globalisasi pendidikan tidak selamanya membawa dampak positif bagi dunia pendidikan, melainkan dampak negatif yang perlu diantisipasi.
a. Dunia pendidikan Indonesia bisa dikuasai oleh para pemilik modal.
b. Dunia pendidikan akan sangat bergantung pada teknologi, yang berdampak munculnya “tradisi serba instan”.
c. Globalisasi akan melahirkan suatu golongan-golongan di dalam dunia pendidikan.
d. Akan semakin terkikisnya kebudayaan bangsa akibat masuknya budaya dari luar.

Mengantisipasi dampak negatif akibat globalisasi, maka kita harus meningkatkan sumber daya manusia di Indonesia ini agar mampu menjaga ketahanan nasional dalam bidang pendidikan. Selain sumber daya manusia, pendidikan berbasis lokal harus diperkuat juga agar sanggup menghadapi globalisasi.

Sumber daya manusia dapat ditingkatkan dengan melalui pendidikan. Dunia pendidikan di Indonesia harus lebih sungguh-sungguh dan lebih terprogram juga terpola melakukan suatu evaluasi terhadap perannya dalam pembangunan bangsa Indonesia dewasa ini. Untuk meningkatkan perannya itu, komponen-komponen dalam sistem pendidikan perlu mendapat perhatian yang serius. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah kurikulum agar akhirnya lulusan pendidikan dapat merespon berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan dapat bersaing secara global (Syaban, 2002)

Salah satu bagian dari kurikulum itu adalah rencana pembelajaran yang harus disiapkan oleh seorang pendidik ketika akan memulai pendidikan dan pengajaran.

Terkait dengan pendidikan lokal dan sumber daya manusia (individu) yang harus diperkuat, hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Cheng (2002) melalui Triplization in Education-nya, yang terdiri dari Globalization, Localization, dan  Individualization yang masing-masing memiliki implikasi terhadap pendidikan.

Implikasi globalisasi terhadap pendidikan digambarkan Cheng (2002) sebagai “To maximize the education relevance to global development and pool up best intellectual resources, support, and initiatives from different parts of the world for learning, teaching and research” yang diartikan bahwa implikasinya adalah “untuk memaksimalkan relevansi pendidikan terhadap pekembangan global dan mengumpulkan sumber daya, dukungan, dan insiatif intelektual terbaik di berbagai belahan dunia untuk belajar, mengajar, dan melakukan penelitian”.

Implikasi lokalisasi pendidikan adalah “To maximize the education relevance to local developments and bring in community support and resources, local partnership, and collaboration in learning, teaching and research” yang diartikan sebagai “Memaksimalkan relevansi pendidikan terhadap perkembangan lokal dan membawa dukungan dan sumber daya masyarakat, kemitraan lokal, dan kolaborasi dalam pembelajaran, pengajaran dan penelitian”.

Dan yang terakhir adalah implikasi individual terhadap pendidikan adalah “To maximize motivation, human initiative, and creativity in learning, teaching and research” yang berarti bahwa “Untuk memaksimalkan motivasi, inisiatif manusia, dan kreativitas dalam pembelajaran, pengajaran dan penelitian”.

Pada paradigma triplization, pengajaran yang diberikan seorang guru harus memuat ketiga hal tersebut, globalisasi, lokalisasi, dan individualisasi.

Tentang pengetahuan global, telah dikemukakan di awal tulisan. Berikut ini adalah pengertian dan penjelasan tentang pengetahuan lokal menurut Cheng (2003) yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Pengetahuan lokal adalah pengetahuan yang telah diuji valid dalam konteks lokal dan diakumulasikan oleh masyarakat setempat atau masyarakat. Pada masyarakat lokal yang berbeda, yang memiliki konteks sosial, aset budaya dan latar belakang sejarah mungkin berbeda dan oleh karena itu pengetahuan dan kebijaksanaan yang mereka anggap berguna dan valid dan terakumulasi di dalam tahun-tahun terakhir mungkin berbeda. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila sistem pengetahuan komunitas lokal berbeda satu sama lain.

Tentang pengetahuan global dan pengetahuan lokal, jangankan secara mendunia, di Indonesia saja ada yang disebut dengan muatan lokal di suatu daerah tertentu atau bahkan hanya di sekolah tertentu.
Seperti yang dimiliki oleh kota-kota di Jawa Barat pada umumnya, maka mata pelajaran yang menjadi muatan lokalnya adalah mata pelajaran bahasa daerah, terutama bahasa Sunda. Mengapa ada kata “terutama”, karena ada bagian dari Jawa Barat yang ternyata mempelajari bahasa Jawa, karena wilayahnya lebih dekat ke wilayah Jawa Tengah.

Untuk muatan lokal yang diberikan pada peserta didik di sekolah penulis dan mungkin sekolah lain tidak memberikan mata pelajaran tersebut pada peserta didiknya adalah keterampilan. Namun, untuk kurikulum 2013, mata pelajaran keterampilan ini ternyata bukan menjadi muatan lokal pada satu sekolah saja, melainkan menjadi bagian dari mata pelajaran yang memang wajib diberikan, yaitu dengan nama prakarya.

Untuk muatan lokal seperti mata pelajaran Bahasa Sunda, jika tidak dilestarikan dengan salah satu caranya adalah dengan diberikan pada peserta didik sebagai salah satu mata pelajaran, maka eksistensi muatan lokal ini akan sulit tumbuh dan berkembang dan suatu keniscayaan bahwa pada suatu hari, bahasa Sunda ini akan hilang. Maka, penting sekali semua pihak terkait memiliki peran untuk menjadikan muatan lokal ini bertahan. Tentu dengan langkah awal adalah tetap memperkenalkan pada peserta didik dan gunakan itu sebagai bahasa sehari-hari juga dalam berkehidupan bermasyarakat.

Tentang contoh eksistensi muatan lokal di atas, ternyata sesuai dengan apa yang disampaikan Cheng (2003) yang menyatakan bahwa “if the local knowledge is overwhelmed and even replaced by the external knowledge in globalization, the local knowledge will be unable to grow and will gradually disappear”, yang berarti bahwa “jika pengetahuan lokal kewalahan dan bahkan digantikan oleh pengetahuan eksternal dalam globalisasi, pengetahuan lokal tidak akan dapat tumbuh dan berkembang, perlahan hilang”.

Guru dalam upayanya memelihara pengetahuan global, ternyata tidak bisa terlepas dari kegiatan mengupayakan terlebih dahulu peningkatan kualitas individu peserta didiknya.

Peningkatan kualitas individu peserta didik membutuhkan kegiatan pembelajaran yang menyentuh hal-hal terkait kehidupan sehari-hari para peserta didik, yang disebut sebagai kontektual. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Cheng (2003) yang menjadi Keynote speech pada
International Conference on Globalization and Challenges for Education, yaitu apa yang disebut sebagai CMI (Contextualized Multiple Intelligence) dengan beberapa kecerdasan yang dimunculkan antara lain kecerdasan teknologi, kecerdasan politik, kecerdasan sosial, kecerdasan ekonomi, kecerdasan budaya, dan kecerdasan belajar.

Sejalan dengan itu, Howard Gardner telah membuat sebuah teori tentang kecerdasan majemuk.
Kecerdasan majemuk Gardner mengarahkan pada langkah atau upaya yang perlu dilakukan oleh guru adalah melaksanakan macam-macam cara belajar (bervariasi) yang dilakukan pesera didik, sehingga mereka yang pastinya memiliki kecerdasan majemuk tersebut bisa mendapat pengalaman belajar yang sesuai dengan kecerdasan yang dimilikinya.

Kedelapan kecerdasan majemuk itu (Hoerr, 2007), antara lain:
1. Bahasa
Adalah kecerdasan dengan kepekaan pada makna dan susunan kata.
2. Logika matematika
Adalah kecerdasan dengan kemampuan untuk menangani relevansi/argumentasi serta mengenali pola dan urutan.
3. Musikal
Adalah kecerdasan dengan kepekaan terhadap pola titinada, melodi, irama, dan nada.
4. Kinestetik Tubuh
Adalah kecerdasan dengan kemampuan untuk menggunakan tubuh dengan terampil dan memegang objek dengan cakap.
5. Spasial
Adalah kecerdasan dengan kemampuan untuk mengindra dunia secara akurat dan menciptakan kembali atau mengubah aspek-aspek dunia tersebut.
6. Naturalis
Adalah kecerdasan dengan kemampuan untuk mengenali dan mengklasifikasi aneka spesies, flora dan fauna, dalam lingkungan.
7. Interpersonal
Adalah kecerdasan dengan kemampuan untuk memahami orang dan membina hubungan.
8. Intrapersonal
Adalah kecerdasan yang dimiliki berupa akses pada emosional diri sebagai sarana untuk memahami diri sendiri dan orang lain.

Dalam melaksanakan pendidikan dan pengajaran di kelas, guru haruslah memiliki perencanaan yang baik. Dan dalam rangka mengupayakan pengoptimalan kecerdasan majemuk yang dimiliki tiap peserta didik, maka penulis berusaha memaparkan perencanaan pembelajaran yang dapat disiapkan oleh seorang guru matematika.

Secara umum, upaya yang dapat dilakukan oleh guru matematika adalah menumbuhkankembangkan  kreativitas peserta didik dengan karakteristik belajar dan kecerdasan yang melekat pada masing-masing dari mereka.

Secara khusus, dengan diawali  penggunaan prosedur yang ada untuk mengetahui kecerdasan yang lebih menonjol pada tiap peserta didik, maka dalam pelajaran matematika, upaya guru matematika dalam memelihara pengetahuan global yang dapat diberikan pada:
1. peserta didik dengan kelebihan pada kecerdasan bahasa adalah dengan mendorong penggunaan kata-kata yang unik.
Misalkan, membuat singkatan kata yang membuatnya menjadi ingat akan sebuah rumus matematika (metode cantol). Hasil dari membuat singkatan kata ini dapat dibagikan kepada peserta didik yang lain yang memperoleh cara baru juga untuk mengingat sebuah rumus.
2. peserta didik dengan kelebihan pada kecerdasan logika matematika adalah dengan memfasilitasinya untuk mendemonstrasikan sebuah konsep dengan benda-benda nyata yang sebelumnya mereka pelajari dulu dan akhirnya mereka kuasai.
Atau bisa juga, peserta didik dengan kecerdasan ini, diberikan soal-soal yang tingkatan lebih tinggi dibandingkan dengan teman-temannya yang lain yang tidak memiliki kecerdasan ini sehingga soal-soal itu membuatnya tertantang untuk belajar lebih baik lagi.
3. peserta didik dengan kelebihan pada kecerdasan musical adalah dengan memfasilitasi peserta didik untuk menggunakan hal-hal terkait musik untuk memahami suatu konsep matematika.
Misal, peserta didik difasilitasi untuk mengubah lirik lagu untuk mengingat suatu konsep atau rumus. Atau bisa juga dengan membuat alunan musik tertentu untuk menciptakan sebuah lagu singkat yang liriknya adalah materi pelajaran matematika.
4. peserta didik dengan kelebihan pada kecerdasan kinestetik tubuh adalah dengan menyediakan kegiatan untuk bergerak dan membiarkan murid “bergerak” selama belajar.
Misalkan ketika peserta didik mempelajari materi tentang keliling bangun datar, maka peserta didik diberikan kertas puzzle yang mengharuskan mereka bekerja dengan menggerakkan tangannya untuk membuat potongan-potongan puzzle itu menjadi suatu bentuk dua dimensi bebas dan mereka diminta mencari kelilingnya juga luas daerah puzzle tersebut.
5. peserta didik dengan kelebihan pada kecerdasan spasial adalah dengan menggambarkan sesuatu atau menciptakan sesuatu terkait materi matematika.
Misalkan, menciptakan gambar peta pikiran (mind map) ketika mempelajari suatu materi.Contoh lain adalah mengamati diagram.
6. peserta didik dengan kelebihan pada kecerdasan naturalis adalah dengan menggunakan alam terbuka sebagai kelas.
Misalkan, ketika peserta didik mempelajari tentang materi himpunan, maka peserta didik dibiarkan mengeksplorasi keadaan alam di lingkungan sekolah untuk memahami mana yang merupakan himpunan dan bukan himpunan dengan kegiatan mengelompokkan tanaman berdasarkan jenis daunnya.
7. peserta didik dengan kelebihan pada kecerdasan interpersonal adalah dengan memberi kesempatan untuk peserta didik ini membuat hubungan sosial dengan temannya ketika mempelajari sesuatu. Mengapa begitu? Karena oarng-orang dengan kecerdasan interpersonal senang bertemu dan berteman dengan banyak orang.
Upaya yang dapat dilakukan oleh guru adalah memfasilitasi pembelajaran kerjasana dalam kelompok untuk mempelajari matematika. Atau bisa juga, peserta didik ini diberikan kesempatan menjadi tutor (sebaya) untuk temannya.
8. peserta didik dengan kelebihan pada kecerdasan intrapersonal adalah dengan membiarkan peserta didik bekerja dengan iramanya sendiri. Maksudnya adalah peserta didik dengan kecerdasan unik ini adalah peserta didik yang lebih mampu dan nyaman bekerja dengan “ketertutupannya” atau dengan bahasa lain adalah introvert.
Apa yang baiknya diupayakan oleh guru matematika jika menemukan peserta didik dengan kecerdasan intrapersonal seperti ini? Guru bisa saja membolehkan peserta didik untuk bekerja sendiri. Atau jika guru menginginkan agar ada perkembangan positif tentang kegiatan sosial peserta didik ini, maka guru dapat mengarahkan sedikit demi sedikit agar kegiatan sosialnya menjadi semakin baik dengan cara memberikan tugas kelompok.

Selain contoh di atas, upaya yang dapat dilakukan guru adalah membantu peserta didik untuk menyusun dan memonitor target-target pribadi. Dan kegiatan lain yang dapat diupayakan untuk peserta didik seperti ini adalah dengan melibatkannya dalam menulis jurnal.

Betapa peserta didik akan sangat menikmati setiap pemberian materi pelajaran jika diperoleh dengan mengikuti kecerdasan yang mereka miliki. Materi pelajaran matematika pun akan lebih mudah dikuasai oleh mereka.

Namun, pelaksanaan pembelajaran yang diadakan di kelas dengan memperhatikan kecerdasan majemuk peserta didik, tentu bukan hal mudah dilakukan. Mengapa?
Penulis coba menyampaikan dua kesulitan yang mungkin dihadapi ketika memilih untuk memasukkan banyak kecerdasan dalam kurikulum dan pengajaran. Kesulitan-kesulitan itu adalah
1. Kuantitas peserta didik dalam suatu kelas. Kelas klasikal di sekolah-sekolah di Indonesia berisi peserta didik di kisaran 25-30 orang. Dapat dibayangkan jika guru memfasilitasi belajar para peserta didik dengan mengikuti masing-masing kecerdasannya, hanya untuk satu materi saja, maka persiapan guru dalam membuat bahan ajar sangat luar biasa. Dan ini bukan berlangsung hanya satu atau dua hari saja.
2. Jika seluruh peserta didik atau wakilnya diharapkan menampilkan hasil pekerjaannya (yang disesuaikan dengan kecerdasannya), maka berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan itu.
Agar kesulitan itu tidak menghambat untuk materi pelajaran tetap dapat dipelajari oleh peserta didik dengan menggunakan kecerdasannya masing-masing dan guru pun nyaman memberikan pelajaran adalah dengan memberikan variasi kegiatan pembelajaran di kelas, sehingga dalam sekali pertemuan tidak perlu semua kecerdasan itu sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik secara bersamaan. Bisa saja, pada pertemuan pertama, guru menyiapkan pembelajaran dengan memfasilitasi kecerdasan peserta didik dengan tipe bahasa, musical, dan logika matematika. Di pertemuan selanjutnya, guru dapat memfasilitasi belajar peserta didik dengan menerapkan tipe kecerdasan naturalis dan spasial, atau lain sebagainya.

Untuk kegiatan pada saat menampilkan hasil pekerjaan peserta didik pun, dapat dilakukan secara variatif untuk setiap pertemuan pembelajaran. Ketika sesi penampilan itu, peserta didik yang lain dapat belajar dari temannya bagaimana cara temannya belajar dan hal-hal positif apa sajakah yang bisa diambil dan dirasa cocok untuk dicoba digunakan sebagai cara belajarnya. Kadangkala, sesuatu yang di luar kebiasaan seseorang, dapat menumbuhkan rasa keingintahuan. Ini pun bisa terjadi pada peserta didik yang tertarik dengan cara belajar temannya dan mencoba diterapkan pada dirinya dan keluar dari zona nyamannya.

Dengan cara-cara seperti itulah, seorang guru matematika dapat berupaya dalam memelihara pengetahuan global dalam perencanaan pembelajaran.

C. Kesimpulan
Pengetahuan global tidak bisa terlepas dari pengetahuan lokal dan individu yang menjalani pengetahuan-pengetahuan tersebut. Lahirnya pengetahuan global bukan berarti hilangnya identitas suatu masyarakat, justru globalisasi telah merangsang kesadaran individu, kesadaran etnis dari suatu komunitas untuk lebih menguatkan pengetahuan lokal agar tidak tergerus dan hilang dimakan zaman global dengan tetap menjalankan dan mempelajari pengetahuan global itu.

Matematika sebagai sebuah disiplin ilmu yang sifatnya mengglobal tentu perlu dipelihara keunikannya itu dengan mengaitkanya pada pengetahuan lokal dan invididu juga, yang termuat dalam perencanaan sebuah pembelajaran.

Dalam perencanaan pembelajaran matematika yang nantinya dilaksanakan di kelas, individu yang mempelajari matematika, dalam hal ini adalah peserta didik harus dibuat senyaman mungkin ketika mempelajarinya.

Salah satu cara yang dapat diupayakan adalah peserta didik difasilitasi untuk belajar sesuai dengan kecerdasan yang dimilikinya, yang Howard Gardner sebut sebagai kecerdasan majemuk. Tiap kecerdasan dapat diusahakan oleh guru agar dapat dialami oleh masing-masing peserta didik. Tentu mereka akan lebih mudah belajar jika pelajaran yang diperoleh sesuai dengan kenyamanan mereka ketika dalam proses memperolehnya.

Satu dari delapan kecerdasan majemuk paling menonjol yang dimiliki oleh peserta didik adalah omzet bagi mereka pribadi sebagai individu yang merupakan bekal mereka di masa depan.

Guru dapat membantu memfasilitasi agar peserta didik dapat mengetahui cara belajar, kemudian mereka gunakan kecerdasan masing-masingnya itu. Jika mereka sudah mengetahuinya maka guru juga dapat membantu memupuknya agar kecerdasan mereka semakin terasah setiap hari.

Dalam belajar matematika, peserta didik pun dapat difasilitasi agar belajar sesuai dengan kecerdasannya masing-masing. Namun, agar tidak menjadi kerumitan bagi guru, nantinya dalam kegiatan pembelajaran di kelas dapat dilakukan dengan cara yang bervariatif. Tidak perlu dalam satu kali pertemuan pembelajaran menjalankan kedelapan kecerdasan majemuk itu secara bersamaan.

Kegiatan variatif dalam belajar dapat meningkatkan suasana belajar yang menyenangkan bagi peserta didik. Dengan suasana belajar yang menyenangkan dengan tidak menghilangkan unsur serius belajarnya, maka tentu harapan kita semua adalah peserta didik dapat menggunakan ilmu pengetahuannya sebagai masa depannya.

Terakhir, tentu kita berharap juga, ketika peserta didik belajar matematika, bukan sekadar pandai berhitungnya saja yang menjadi tujuan akhir, melainkan pola pikir dan sikap (seperti disiplin, teliti, juga konsisten) serta logis matematis yang diharapkan bertumbuh dan berkembang positif pada peserta didik dari sedini mungkin. Sehingga jika telah tertanam dengan baik pada mereka sejak awal, maka mereka tinggal menuainya di masa yang akan datang dan siap menerima pengetahuan global pada era global dengan lebih baik.



DAFTAR PUSTAKA

Cheng, Yin Cheong (2002). New Paradigm of Borderless Education: Challenges, Strategies, and Implications for Effective Education through Localization and Internationalization. Hongkong.

Cheng, Yin Cheong. (2003). Local Knowledge and Human Development in Globalization of Education. Keynote Speech Presented at The International Conference on Globalization and Challenges for Education. Hongkong.

Hoerr, Thomas. R. (2007). Buku Kerja Multiple Intelligences. Bandung: Penerbit Kaifa.

https://id.wikipedia.org/wiki/-Globalisasi, diakses pada 4 Desember 2017.

http://edyutomo.com/pendidikan-berwawasan-global/, diakses pada 4 Desember 2017.

https://www.kompasiana.com/akrie_style/globalisasi-pendidikan, diakses pada 4 Desember 2017.

Syaban, Mumun. (2002). Matematika dalam Era Globalisasi. Educare Jurnal Pendidikan dan Budaya Vol. 1, No. 1. Bandung: FKIP Universitas Langlangbuana.

Literasi dan Numerasi 1

Kegiatan literasi yang dilaksanakan dalam pembelajaran, bukan hanya menjadi tanggung jawab guru mata pelajaran Bahasa Indonesia ataupun guru...